Sebenarnya pandangan banyak orang bahwa politik itu adalah kotor, karena dalam dunia politik diisi oleh aksi para politisi yang bersikap lain di mulut lain di hati, mereka pandai menanam tebu di pinggir bibir, bermanis-manis kata membela hak-hak kaum tertindas, namun bila sudah menghadapi tahapan pilkada, pilleg,maupun pilkades nuansa suap atau money politics menjadi sebuah ’budaya’
yang laris-manis.
Menurut Ibnu Katsir, bahwa secara tren
Islam, risywah (suap-menyuap/money politics) adalah aktivitas memberikan sesuatu (uang atau barang maupun janji) kepada orang lain dengan
harapan akan mendapatkan pertolongan untuk memperoleh sesuatu, apakah itu
jabatan, kebijakan atau proyek.
Budaya suap-menyuap
atau sogok-menyogok merupakan fenomena yang faktual yang dapat disaksikan disekitar kita.
Strategi money politics, baik dalam bentuk uang,
maupun dalam bentuk barang seperti baju kaos, rompi, topi maupun atribut
bergensi lainnya. Adalah menjadi alat untuk ’mencuri’ dan ’membeli’ hati massa
pemilih.
Harus diwaspadai, bahwa korupsi adalah
cara-cara yang sangat sesat dan menyesatkan (dlillun wumudlillun). Sebab, uang yang diberikan dalam pemilu
bukanlah hanya berbentuk hibah atau sumbangan sukarela. Tapi itu adalah menjadi
alasan untuk mengambil (mengkorupsi) uang negara. Sebab modal harus dikembalikan.
Lalu, kita bertanya-tanya, kenapa korupsi sampai hari ini tidak tuntas atau sang koruptor tidak dapat ditangkap dan dipenjarakan? hal itu disebabkan karena pemimpin yang waktu menjadi capres/cawapres, cagub/cawagub, cawali/cawawako, cabup/cawabup serta cakades umumnya mendapatkan pasokan dana dari konglomerat (pengusaha/kontraktor). Sehingga kalau ada kasus korupsi konglomerat tidak tuntas. Itu disebabkan pejabat yang memimpin mendapatkan banyak dana dalam pemilu dari sang pengusaha (kontraktor). Inilah awal terjadi praktek ’cukongisasi’.
Kenyataan di atas menyadarkan, bahwa amanah
Allah dan rakyat sudah dikhianati dengan korupsi. Padahal mereka yang menjadi
pemimpin sudah digaji dari tetesan keringat rakyat. Tapi justru mereka
mengambil dan mengeruk kekayaan lain yang bukan dari cara yang halal.
Dalam Naskah buku Islamic Renaissance yang ditulis oleh buya Irwanto, Setidaknya ada dua pilar dalam praktek korupsi yaitu:
Pertama, kerangka hukum yang buruk. Ini
dapat disaksikan bagaimana sanksi hukum bagi koruptor yang hanya sekadar
‘basa-basi’. Artinya, bahwa sanksi hukum tidak membuat koruptor untuk sadar
atau jera, tapi justru menjadi-jadi. Selain itu nuansa politisnya sangat kental
sekali, maka seakan-akan pemberantasan korupsi hanya ‘tebang pilih’ tidak
merata di setiap RT, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi maupun Negara.
Kedua, sifat serakah. Karena biasa dalam
kekurang mulai menjadi bawahan, maka ketika sudah menduduki posisi sebagai
Kabag, Kadis, Camat, Bupati/Wako, Gebernur, Menteri maupun anggota Dewan
ataupun lembaga lainnya akan tampak sikap keserakahan untuk mengeruk kekayaan.
Menurut Wang Ah Shih (seorang pembaharu Cina)
dalam tulisannya yang ia tulis untuk Kaisar Sung Jen Teung (1058 SM), ia
menyatakan: “Sejarah membuktikan, tidaklah mungkin menjamin pemerintah yang
bersih dengan semata-mata tergantung pada kekuasaan hukum untuk mengontrol
pejabat, ketika para pejabat itu sendiri bukanlah orang yang tepat bagi tugas
mereka.
Konteks pernyataan Wang Ah Shih di atas ada
benarnya. Tidak mungkin suatu pemerintahan akan bersih kalau hanya tergantung
pada kekuasaan hukum untuk mengontrol pejabatnya.
Karena banyak pejabat yang tidak tepat posisinya dalam melakukan pengontrolan. Baik yang ada di Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Inspektorat, Banwasda, BPKP, BPK, KPK, Tim Tastipikor maupun lembaga lainnya. Sebab dalam berbagai kasus di daerah justru banyak “oknum” kejaksaan yang menakut-nakuti pejabat dengan sanksi korupsi. Akhirnya adalah U-U-D (Ujung-Ujungnya Duit/money). Sehingga jangan terlalu berharap pada pemberantasan korupsi di daerah. Sebab uang lebih kuasa dari palu hukum, dan apabila ada yang coba-coba maka bandit dari pasukan “Firaun” tidak segan-segan membabat sang idealis. Namun meskipun demikian, kita harus tetap yakin akan ada i’tikad baik dari semua pihak secara nasional untuk memberantas korupsi.
Karena banyak pejabat yang tidak tepat posisinya dalam melakukan pengontrolan. Baik yang ada di Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Inspektorat, Banwasda, BPKP, BPK, KPK, Tim Tastipikor maupun lembaga lainnya. Sebab dalam berbagai kasus di daerah justru banyak “oknum” kejaksaan yang menakut-nakuti pejabat dengan sanksi korupsi. Akhirnya adalah U-U-D (Ujung-Ujungnya Duit/money). Sehingga jangan terlalu berharap pada pemberantasan korupsi di daerah. Sebab uang lebih kuasa dari palu hukum, dan apabila ada yang coba-coba maka bandit dari pasukan “Firaun” tidak segan-segan membabat sang idealis. Namun meskipun demikian, kita harus tetap yakin akan ada i’tikad baik dari semua pihak secara nasional untuk memberantas korupsi.
Salah satu solusi yang bisa ditawarkan dalam pemberantasan korupsi adalah, perlunya political will, dimana semua pihak dari atas sampai ke bawah betul-betul menyadari bahwa korupsi adalah menjadi musuh bersama. Sehingga atasan akan menunjukkan keteladanannya pada bawahannya. Kemudian, pentingnya political action. Contoh keteladanan haruslah diwujudkan dalam kenyataan yang riil, dimana aparat yang berwenang betul-betul menangkap dan mengadili serta menghukum para koruptor.
Teman-teman, Mungkin setidaknya kita perlu ingat pesan Rasulullah SAW dalam haditsnya yang berbunyi:
Barangsiapa yang kami
tugaskan untuk melakukan suatu pekerjaan dan untuk itu kami berikan imbalan
(gaji/honor), maka apa yang diambilnya selain imbalan itu berarti suatu ghulul
(penipuan/korupsi). (H.R.
Abu Daud).
Dalam hadits tersebut Rasulullah mengingatkan kita, bahwa penipuan atau korupsi (ghulul) adalah awal dari hancurnya tatanan kehidupan dalam segala dimensi yang ada. Selain itu keberkahan pun hilang, dikarenakan kebiasaan mengkosumsi sumber rezeki dari yang tidak halal.
Dalam hadits tersebut Rasulullah mengingatkan kita, bahwa penipuan atau korupsi (ghulul) adalah awal dari hancurnya tatanan kehidupan dalam segala dimensi yang ada. Selain itu keberkahan pun hilang, dikarenakan kebiasaan mengkosumsi sumber rezeki dari yang tidak halal.
Teman, Dengan desah nafas yang masih tersisa, marilah kita satukan
hati untuk melawan tirani korupsi
yang masih menggurita di tengah lumpur bernajis. Apabila sudah dilakukan
secara
maksimal, maka berlahan-lahan tapi pasti lumpur-lumpur bernajis itu akan
hilang.
Caranya mungkin tidak mudah, namun dengan menguatkan hati nurani penuh
kesadaran dan mata air yang jernih, kita akan perlahan menghalau
riaknya tirani korupsi.
Wallahu'alam
Sumber :
Sumber :
Naskah buku Islamic renaissance : Purifikasi Islam Teologis menuju Purifikasi Islam Kemanusiaan.
Abdullah bin Abd. Muhsin, Suap dalam Pandangan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Abdullah bin Abd. Muhsin, Suap dalam Pandangan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Nurcholis
Madjid, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer, 1998, Jakarta: Paramadina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar