Teman, mungkin ada benarnya semakin tinggi tingkat kecerdasan seseorang tentu
makin tinggi pula tingkat kemahirannya dalam melakukan korupsi dan kejahatan
lainnya.
Kalau kita lihat pelaku korupsi di bumi pertiwi, mereka adalah orang-orang yang berpendidikan, pejabat publik dengan strata ekonomi melebihi rata-rata, namun kenapa masih saja berprilaku koruptif?
Kalau kita lihat pelaku korupsi di bumi pertiwi, mereka adalah orang-orang yang berpendidikan, pejabat publik dengan strata ekonomi melebihi rata-rata, namun kenapa masih saja berprilaku koruptif?
Baru-baru ini dunia pemberitaan heboh karena Gubernur Jambi Zumi Zola terlibat kasus suap untuk mengesahkan RAPBD Provinsi Jambi. Masyarakat dibuat kaget, mengelus dada dan tidak percaya.
Seperti pepatah "Ikan busuk dari Kepalanya", tentu mustahil kezaliman yang dilakukan kepala daerah tidak menular kepada bawahanannya.
Berbagai pembelaan dan pembenaran dilontarkan oleh pendukung maupun rakyat jambi, pun bantuan hukum juga ditawarkan oleh partai pengusung, namun bagaikan cermin yang retak, masyarakat tentu kehilangan keteladanan.
Sayapun mulai membayangkan korupsi tersebut akan menjalar ke RT, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi lain bahkan sampai korupsi di rumah tangga.
Menurut Buya Irwanto, pendiri Lapik Center Kerinci-Jambi, Korupsi adalah
‘budaya’ terkutuk yang telah menjamur di negeri ini, sehingga ‘prestasi’ buruk
itulah bangsa Indonesia ‘distempel’ sebagai bangsa koruptor. Tapi secara nurani
pasti perilaku ‘pejabat-pejabat’ itu dibenci dari kebeningan hati, karena
‘budaya’ itu menyengsarakan banyak orang, dan generasi penerus pun akan menjadi
generasi bodoh dan miskin akhlak.
Ia juga menambahkan bahwa korupsi yang terjadi pada bangsa Indonesia memiliki tiga wajah persoalan yang cukup akut sekali, yaitu:
Pertama, korupsi telah terjadi secara struktural. Perilaku korupsi pada bangsa Indonesia telah mengakar dalam sistem pemerintahan yang juga termasuk di dalamnya parpol, militer dan aparat penegak hukum dari tingkat daerah hingga pusat.
Kedua, korupsi telah berkembang secara kultural. Dimana perilaku korupsi telah menjadi kebiasaan yang kolektif yang baik dengan standar maupun tidak dipraktekkan pada tiap level sosial.
Ketiga, korupsi telah dimulai dari personal. Karena secara struktural dan kultural korupsi telah merajalela maka mau tak mau mental korupsi telah melekat setiap pribadi masyarakat Indonesia secara umum.
Ia juga menambahkan bahwa korupsi yang terjadi pada bangsa Indonesia memiliki tiga wajah persoalan yang cukup akut sekali, yaitu:
Pertama, korupsi telah terjadi secara struktural. Perilaku korupsi pada bangsa Indonesia telah mengakar dalam sistem pemerintahan yang juga termasuk di dalamnya parpol, militer dan aparat penegak hukum dari tingkat daerah hingga pusat.
Kedua, korupsi telah berkembang secara kultural. Dimana perilaku korupsi telah menjadi kebiasaan yang kolektif yang baik dengan standar maupun tidak dipraktekkan pada tiap level sosial.
Ketiga, korupsi telah dimulai dari personal. Karena secara struktural dan kultural korupsi telah merajalela maka mau tak mau mental korupsi telah melekat setiap pribadi masyarakat Indonesia secara umum.
Dari kenyataan di atas, dapat dipahami bahwa
penyakit korupsi yang telah terjadi secara struktural, kultural dan personal.
Sehingga kemanapun pergi, selalu menemukan perilaku korupsi.
Dan, yang sangat mengherankan justru para koruptor lebih berani unjuk perilaku koruptifnya. Yakni dengan perilaku premanisme dan banditisme, dimana setiap media yang membongkar kasus korupsinya justru media itu disuap atau korannya diblokir maupun di bakar supaya masyarakat tidak mengetahui kasus korupsi sang koruptor yang telah terjadi.
Tidak hanya sampai
‘penyulapan’ informasi saja, yang tambah parah adalah perilaku kekerasan
baik intimidasi maupun penyiksaan kepada pihak yang berani bicara kritis
terhadap perilaku korupsi sang pejabat yang sedang ‘pesta’ mengeruk uang
rakyat.
Kemana pun pergi, kita bagaikan bernafas di lumpur
bernajis (kata Emha Ainun Najib). Sebab dari RT sampai negara sudah melembaga korupsi. Sehingga perlu mencari tempat yang tidak
‘bernajis’ untuk bisa bernafas dan bertahan hidup.
Seperti digambarkan dalam kerajaan Firaun
dan Bandit, bagi siapa yang tidak korupsi dan berperilaku ‘najis’ lainnya itulah
manusia yang ‘jahat’. Dan Secara kasatmata orang jujur justru menjadi pecundang dan
‘persakitan’. Karena di era kini, kejujuran adalah sebuah upaya ‘perong-rong’
kejahatan para penguasa.
Teman, memang sulit mencari tempat bernapas
di tengah lumpur bernajis. Karena anggapan secara umum dari masyarakat banyak
yang menyatakan, bahwa korupsi bukan lagi perilaku yang meyimpang secara
pribadi pelakunya, akan tetapi telah menjadi perilaku yang kolektif
(terlembaga) secara sistematis.
Namun demikian, kita harus tetap optimis. Walaupun yang
punya keteladanan itu populasinya kecil. Tapi itu dapat menjadi spirit untuk
tetap melihat pada kebenaran yang sejati.
Wallahu'alam
Majalah Suara Muhammadiyah No. 28
Muhararam-10 Shafar 1428 H, h. 45.
Naskah buku Islamic renaissance : Purifikasi Islam Teologis menuju Purifikasi Islam Kemanusiaan
Mingguan
Independent dan Lentera Edisi. 43 IV/ 11 Maret- 26 Maret 2005, h. 11.
HU Republika, Resonasi, Selasa, 16 September 2003, h. 12.
Buletin Kontak Antar Kita, Edisi 05/06 Juni
1999/ th. V, h. 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar