Selasa, 04 Juni 2019

MEMAAFKAN SEBAGAI KARAKTER EMANSIPASI KEMANUSIAAN RAHMATAN LIL’ALAMIN

           
           Perjalanan hidup manusia selalu diliputi dengan peristiwa demi peristiwa. Tiada yang tetap di alam ini, kecuali perubahan itu sendiri. Yang selalu berjalan dari waktu ke waktu yang lain. Dan sebagai khalifah-Nya di bawah kolong langit dunia ini, selalu berhadapan dengan tantangan, hambatan, dan sekelumit persoalan hidup.
            Dan jujur akui, bahwa mengarungi roda zaman ini kadangkala terjungkir dan terseok kepada kerasnya “batu” zaman yang datang menghadang. Sehingga luka dan nestapa menerpa seketika dalam ranah jiwa lara. Dilain waktu dibawa oleh roda zaman ke “istana” pengharapan yang tinggi, yang kadangkala membuat lupa diri.
            “Benturan” kehidupan tidak dapat dihindari, hingga goresan “pena” para malaikat harus menulis sebuah akibat kesalahan maupun kekhilafan pada teman dan sahabat karib, hingga sampai putusnya buhul tali cinta-kasih-sayang dan silaturrahmi. Sungguh tak tega membiarkan buhul tali cinta-kasih-sayang dan silaturrahmi itu putus. Sehingga membuat batin sesama tersakiti. Dan, tentu kita bertanya antara memaafkan atau malah membalas “persakitan” itu bila ada kesempatan?
            Berikut ini marilah simak dialog antara Nabi Musa As dengan Allah SWT, yang termaktub dalam Hadits Qudsi yang berbunyi :
Nabi Musa AS telah bertanya kepada Allah SWT: “Wahai Tuhanku. Mana diantara hamba-Mu yang lebih mulia menurut pandangan-Mu?”,Allah berfirman: “Ialah orang yang apabila berkuasa (menguasai musuhnya), dapat segera memaafkan.”(HQR. Kharaithi dari Abu Hurairah R.A)

            Kontektual hadits qudsi di atas, adalah berkenaan dengan Nabi Musa AS yang pernah mengajurkan pertanyaan kepada Allah SWT, siapakah di antara hamba-hamba-Nya yang lebih mulia menurut pandangan Allah SWT. Dan Allah pun menjelaskan, bahwa mereka adalah orang yang berhati mulia, berlapang dada, bersikap toleran terhadap “musuh” atau orang yang memusuhinya di saat ia berkuasa untuk melakukan sekehendaknya. Namun ia tidak melampiaskan balas dendam atau sakit hatinya kepada “musuh”, bahkan ia memaafkannya karena Allah semata-mata. Itulah orang yang berhati “emas” yang mempunyai kedudukan yang tertinggi di sisi Allah SWT.
            Dalam faktual sejarah, kita membaca dalam banyak literatur bagaimana Nabi Muhammad SAW memberikan maaf kepada orang-orang yang pernah memusuhinya dan menyakitinya, contohnya adalah:
I
PERANG UHUD
            Rasulullah SAW mendapat luka pada muka dan beberapa gigi beliau patah. Lalu sahabat berkata:
            “Cobalah Tuan doakan agar mereka celaka.
            “Aku sekali-kali tidak diutus untuk melaknat seseorang, tetapi aku diutus untuk mengajak kepada kebaikan dan sebagai rahmat,” ujar Rasulullah SAW.
            Lalu, Rasulullah SAW mengangkat tangannya seraya mengalunkan sebait doa ta’zim di hadirat Allah SWT.
            “Wahai Tuhanku, ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui.
            Dan dalam perang uhud juga, seorang budak kulit hitam bernama Wahsyi, Wahsyi dijanjikan oleh tuannya untuk dimerdekakan apabila ia (Wahsyi dapat membunuh paman Nabi Muhammad SAW yang bernama Hamzah bin Abdul Muththalib. Ternyata Wahsyi dapat membunuh Hamzah, Wahsyi dimerdekakan. Lalu…Wahsyi datang kepada Rasulullah SAW untuk masuk Islam. Rasulullah SAW pun meng-Islamkannya. Dan Rasulullah SAW tidak membalas dendam, tapi malah memaafkan Wahsyi, setelah Wahsyi menceritakan peristiwa pembunuhan yang ia lakukan pada Hamzah.
II
PERANG KHAIBAR
            Diperkampungan Yahudi. Zainab binti Al-Harits (isteri Salam bin Misykam, salah seorang pemimpin Yahudi), ia berhasil memperoleh “hadiah” karena dapat membubuhkan racun pada panggang paha kambing yang disajikannya kepada Rasulullah SAW.
            Waktu itu Rasulullah SAW makan bersama Bisyr bin Bara’ bin Ma’rur. Bisyr sempat menelan daging beracun itu, tatapi Rasulullah SAW, hanya baru sampai mengunyahnya saja, lalu dimuntahkannya kembali sambil berkata: ”Daging ini memberitakan kepadaku bahwa ia beracun”.
            Beberapa hari kemudian Bisyr meninggal dunia. Lalu Rasulullah SAW memanggil wanita Yahudi (Zainab binti Al-Harits), dan bertanya kepadanya:
            “Mengapa engkau sampai hati dan tega melakukan peracunan itu?”
            “Kiranya tidak tersembunyi lagi hasrat kaumku untuk membunuh Tuan. Sekiranya Tuan seorang raja dan wafat karena peracunan itu, maka kami kaum Yahudi akan merasa senang. Tetapi jika Tuan seorang Nabi, tentu Tuan akan diberitahu oleh Tuhan bahwa daging itu mengandung racun. Nyatanya Tuan seorang Nabi,” jawab Zainab binti Al-Harits.
            Lalu, setelah mendengarkan argumen Zainab binti al-Harits (wanita Yahudi) itu, Nabi Muhammad SAW memaafkannya dan melepaskannya.
III
PERISTIWA DU’TSUR DI BAWAH POHON NAN RINDANG
            Du’tsur (seorang kafir Arab) mendapati Rasulullah SAW tengah hari sedang tidur di bawah pohon yang rindang. Lalu Du’tsur mengambil pedang Nabi SAW, serta menghunuskannya sambil mengancam kepada Nabi SAW.
            “Siapa yang dapat membelamu Muhammad daripadaku sekarang ini?” Kata Du’tsur, sambil meletakkan pedang pada leher Nabi SAW.
            “Allah,” jawab Nabi SAW dengan tegas dan singkat.
            Lalu, Du’tsur gemetar, sehingga pedangnya jatuh ke tanah. Segera Nabi SAW mengambil pedang itu, dan meletakkan pedang pada leher Du’tsur sambil berkata:
            “Siapa yang yang membelamu dari padaku ini, Du’tsur?”
            “Tiada seorangpun, kecuali engkau memaafkanku,” jawab Du’tsur dengan ketakutan.
            Kemudian, Rasulullah SAW pun memaafkan Du’tsur tersebut.
Dan Du’tsur pun pulang ke kampung halamannya dan menceritakan peristiwa di bawah pohon nan rindang itu dan kemaafan Rasulullah SAW kepadanya kepada kaumnya. Hingga akhirnya Du’tsur mengajak kaumnya untuk masuk Islam. Karena Islam budi pekertinya tinggi dan suka memaafkan ketika berkuasa.
IV
FATHU-MAKKAH (PEMBEBASAN KOTA MAKKAH)
            Kezaliman kaum Quraisy kepada Rasulullah SAW dan umat Islam sudah sampai pada titik nadir, dimana segala bentuk perilaku tidak bermoral sudah mereka lakukan kepada Rasulullah SAW dan umat Islam. Seperti: memukul, melecuti, membakar dengan besi panas, menjemur di bawah terik matahari, menindih dengan batu besar, melempar dengan kotoran binatang, dan pernah meletakkan kepala unta pada kuduk Nabi SAW saat Nabi sujud waktu shalat, serta rencana pembunuhan terhadap Nabi SAW lainnya.
            Setelah Rasulullah SAW dan umat Islam berhasil membebaskan kota Makkah (fathu-Makkah) dan kaum kuffar pun dapat dikuasai sepenuhnya oleh Rasulullah SAW, mereka (kaum kuffar Makkah) dikumpulkan dihadapan Rasulullah SAW. Bukan untuk membalas dendam atas “persakitan” yang sekian tahun beliau tanggung, akan tetapi adalah untuk memaafkan mereka dan mengampuni mereka. Lalu Rasulullah SAW pun berkata:
            “Aku berkata seperti apa yang dikatakan oleh saudaraku Yusuf. Bahwa mulai dari hari ini tidak ada cerca atas perbuatan yang telah kalian lakukan. Allah telah mengampuni kalian dan Dia Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
            Setelah mendengar ucapan Rasulullah SAW tersebut, mereka bubar dengan perasaan lega dan batin tentram. Sehingga karena keluhuran akhlak Islami dengan sikap memberi maaf itulah, maka berduyun-duyun mereka (kaum kuffar) untuk masuk Islam. Walaupun sebelumnya  mereka adalah penentang Islam. Tapi setelah itu mereka “militan” membelah “ke-rahmatan lil’alamin-an” Islam, walau sampai berkuah air mata, bersimbah darah, bersabung nyawa, dan mengucur peluh serta keringat. Semuanya adalah untuk tegaknya dinullah fil ardh.
            Ya…seperti firman Allah SWT yang termaktub dalam al-Qur’an:
…Memaafkan itu lebih mendekatkan kepada taqwa…”. (Q.S. Al-Baqarah {2} : 237).

Marilah maafkan siapapun yang pernah bersalah pada kita, sehingga tiada beban derita yang tanggung dalam hidup ini. Dan, sesungguhnya orang yang menyakitimu lebih sakit dari pada dirimu…! Wallahu'alam

LAPIK CENTER - ISLAMIC RENAISSANCE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

About Me

ela nofita sari lahir di kabupaten kerinci .

Follow Me

Search