Perjalanan hidup
manusia selalu diliputi dengan peristiwa demi peristiwa. Tiada yang tetap di
alam ini, kecuali perubahan itu sendiri. Yang selalu berjalan dari waktu ke
waktu yang lain. Dan sebagai khalifah-Nya di bawah kolong langit dunia ini,
selalu berhadapan dengan tantangan, hambatan, dan sekelumit persoalan hidup.
Dan
jujur akui, bahwa mengarungi roda zaman ini kadangkala terjungkir dan terseok
kepada kerasnya “batu” zaman yang datang menghadang. Sehingga luka dan nestapa
menerpa seketika dalam ranah jiwa lara. Dilain waktu dibawa oleh roda zaman ke
“istana” pengharapan yang tinggi, yang kadangkala membuat lupa diri.
“Benturan”
kehidupan tidak dapat dihindari, hingga goresan “pena” para malaikat harus
menulis sebuah akibat kesalahan maupun kekhilafan pada teman dan sahabat karib,
hingga sampai putusnya buhul tali cinta-kasih-sayang dan silaturrahmi. Sungguh tak tega membiarkan buhul tali
cinta-kasih-sayang dan silaturrahmi itu putus. Sehingga membuat batin sesama
tersakiti. Dan, tentu kita bertanya antara memaafkan atau malah membalas
“persakitan” itu bila ada kesempatan?
Berikut
ini marilah simak dialog antara Nabi Musa As dengan Allah SWT, yang termaktub dalam Hadits Qudsi
yang berbunyi :
Nabi
Musa AS telah bertanya
kepada Allah SWT:
“Wahai Tuhanku. Mana diantara hamba-Mu yang lebih mulia menurut
pandangan-Mu?”,Allah berfirman: “Ialah orang yang apabila berkuasa (menguasai
musuhnya), dapat segera memaafkan.”(HQR. Kharaithi dari Abu Hurairah R.A)
Kontektual
hadits qudsi di atas, adalah berkenaan dengan Nabi Musa AS yang pernah mengajurkan pertanyaan kepada
Allah SWT, siapakah di antara
hamba-hamba-Nya yang lebih mulia menurut pandangan Allah SWT. Dan Allah pun menjelaskan, bahwa
mereka adalah orang yang berhati mulia, berlapang dada, bersikap toleran
terhadap “musuh” atau orang yang memusuhinya di saat ia berkuasa untuk
melakukan sekehendaknya. Namun ia
tidak melampiaskan balas dendam atau sakit hatinya kepada “musuh”, bahkan ia
memaafkannya karena Allah semata-mata. Itulah orang yang berhati “emas” yang
mempunyai kedudukan yang tertinggi di sisi Allah SWT.
Dalam
faktual sejarah, kita membaca dalam banyak literatur bagaimana Nabi Muhammad SAW memberikan maaf kepada
orang-orang yang pernah memusuhinya dan
menyakitinya, contohnya adalah:
I
PERANG
UHUD
Rasulullah
SAW mendapat luka pada muka dan beberapa gigi beliau patah. Lalu sahabat
berkata:
“Cobalah
Tuan doakan agar mereka celaka.”
“Aku
sekali-kali tidak diutus untuk melaknat seseorang, tetapi aku diutus untuk
mengajak kepada kebaikan dan sebagai rahmat,” ujar Rasulullah SAW.
Lalu,
Rasulullah SAW mengangkat tangannya seraya mengalunkan sebait doa ta’zim di
hadirat Allah SWT.
“Wahai
Tuhanku, ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui.”
Dan
dalam perang uhud juga, seorang budak kulit hitam bernama Wahsyi, Wahsyi
dijanjikan oleh tuannya untuk dimerdekakan apabila ia (Wahsyi dapat membunuh
paman Nabi Muhammad SAW yang bernama Hamzah bin Abdul Muththalib. Ternyata Wahsyi dapat membunuh
Hamzah, Wahsyi dimerdekakan. Lalu…Wahsyi datang kepada Rasulullah SAW untuk
masuk Islam. Rasulullah SAW pun meng-Islamkannya. Dan Rasulullah SAW tidak
membalas dendam, tapi malah memaafkan Wahsyi, setelah Wahsyi menceritakan
peristiwa pembunuhan yang ia lakukan pada Hamzah.
II
PERANG
KHAIBAR
Diperkampungan
Yahudi. Zainab binti Al-Harits
(isteri Salam bin Misykam, salah seorang pemimpin Yahudi), ia berhasil
memperoleh “hadiah” karena dapat membubuhkan racun pada panggang paha kambing
yang disajikannya kepada Rasulullah
SAW.
Waktu
itu Rasulullah SAW makan bersama Bisyr bin Bara’ bin Ma’rur. Bisyr sempat menelan
daging beracun itu, tatapi Rasulullah SAW, hanya baru sampai mengunyahnya saja,
lalu dimuntahkannya kembali sambil berkata: ”Daging
ini memberitakan kepadaku bahwa ia beracun”.
Beberapa
hari kemudian Bisyr meninggal dunia. Lalu Rasulullah SAW memanggil wanita
Yahudi (Zainab binti Al-Harits),
dan bertanya kepadanya:
“Mengapa
engkau sampai hati dan tega melakukan peracunan itu?”
“Kiranya
tidak tersembunyi lagi hasrat kaumku untuk membunuh Tuan. Sekiranya Tuan
seorang raja dan wafat karena peracunan itu, maka kami kaum Yahudi akan merasa
senang. Tetapi jika Tuan seorang Nabi, tentu Tuan akan diberitahu oleh Tuhan bahwa daging itu
mengandung racun. Nyatanya Tuan seorang Nabi,” jawab Zainab binti Al-Harits.
Lalu, setelah mendengarkan argumen Zainab binti
al-Harits (wanita Yahudi) itu, Nabi Muhammad SAW memaafkannya dan
melepaskannya.
III
PERISTIWA
DU’TSUR DI BAWAH POHON NAN RINDANG
Du’tsur
(seorang kafir Arab) mendapati Rasulullah SAW tengah hari sedang tidur di bawah
pohon yang rindang. Lalu Du’tsur mengambil pedang Nabi SAW, serta
menghunuskannya sambil mengancam kepada Nabi SAW.
“Siapa
yang dapat membelamu Muhammad daripadaku sekarang ini?” Kata Du’tsur, sambil meletakkan pedang pada
leher Nabi SAW.
“Allah,” jawab Nabi SAW dengan tegas dan
singkat.
Lalu, Du’tsur gemetar, sehingga
pedangnya jatuh ke tanah. Segera Nabi SAW mengambil pedang itu, dan meletakkan
pedang pada leher Du’tsur sambil berkata:
“Siapa
yang yang membelamu dari padaku ini, Du’tsur?”
“Tiada
seorangpun, kecuali engkau memaafkanku,” jawab Du’tsur dengan ketakutan.
Kemudian, Rasulullah SAW pun
memaafkan Du’tsur tersebut.
Dan Du’tsur pun
pulang ke kampung halamannya dan menceritakan peristiwa di bawah pohon nan
rindang itu dan kemaafan Rasulullah SAW kepadanya kepada kaumnya. Hingga
akhirnya Du’tsur mengajak kaumnya untuk masuk Islam. Karena Islam budi
pekertinya tinggi dan suka memaafkan ketika berkuasa.
IV
FATHU-MAKKAH
(PEMBEBASAN KOTA MAKKAH)
Kezaliman
kaum Quraisy kepada Rasulullah SAW dan umat Islam sudah sampai pada titik nadir, dimana segala bentuk
perilaku tidak bermoral sudah mereka lakukan kepada Rasulullah SAW dan umat
Islam. Seperti: memukul,
melecuti, membakar dengan besi panas, menjemur di bawah terik matahari,
menindih dengan batu besar, melempar dengan kotoran binatang, dan pernah
meletakkan kepala unta pada kuduk Nabi SAW saat Nabi sujud waktu shalat, serta
rencana pembunuhan terhadap Nabi SAW lainnya.
Setelah Rasulullah SAW dan umat
Islam berhasil membebaskan kota Makkah (fathu-Makkah) dan kaum kuffar pun dapat
dikuasai sepenuhnya oleh Rasulullah SAW, mereka (kaum kuffar Makkah)
dikumpulkan dihadapan Rasulullah SAW. Bukan untuk membalas dendam atas
“persakitan” yang sekian tahun beliau tanggung, akan tetapi adalah untuk
memaafkan mereka dan mengampuni mereka. Lalu Rasulullah SAW pun berkata:
“Aku
berkata seperti apa yang dikatakan oleh saudaraku Yusuf. Bahwa mulai dari hari
ini tidak ada cerca atas perbuatan
yang telah kalian lakukan. Allah telah mengampuni kalian dan Dia Tuhan Yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang.”
Setelah
mendengar ucapan Rasulullah SAW tersebut, mereka bubar dengan perasaan lega dan
batin tentram. Sehingga karena keluhuran akhlak Islami dengan sikap memberi
maaf itulah, maka berduyun-duyun mereka (kaum kuffar) untuk masuk Islam.
Walaupun sebelumnya mereka adalah
penentang Islam. Tapi setelah itu mereka “militan” membelah “ke-rahmatan
lil’alamin-an” Islam,
walau sampai berkuah air mata, bersimbah darah, bersabung nyawa, dan mengucur peluh serta keringat. Semuanya adalah
untuk tegaknya dinullah fil ardh.
Ya…seperti
firman Allah SWT yang termaktub dalam al-Qur’an:
“…Memaafkan itu lebih mendekatkan kepada
taqwa…”. (Q.S. Al-Baqarah {2} : 237).
Marilah maafkan siapapun yang pernah bersalah
pada kita, sehingga tiada beban derita yang tanggung dalam hidup ini. Dan, sesungguhnya orang yang menyakitimu lebih sakit dari pada dirimu…! Wallahu'alam
LAPIK CENTER - ISLAMIC RENAISSANCE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar