Jumat, 12 Januari 2018

TENTANG WANITA YANG KU PANGGIL EMAK

Hari ini 12 Januari 2018, tepat 27 tahun usiaku, begitu banyak Do'a dan harapan dari sahabat, keluarga dan orang-orang terkasih yang di haturkan kepadaku.

Untuk semua cinta dan harapan-harapan baik itu, ku ucapkan terimakasih banyak.

Emak, begitu ku memanggilnya, cepat sekali rasanya waktu berlari, seperti Aku yang terbirit-birit saat meninggalkan  ruang kelas, malu di ejek teman-teman karena Aku pupup di celana.

Aku baru 5 tahun waktu itu, tapi Emak sudah masukan aku ke SD, sementara teman-temanku  sudah berumur 6-7 tahun dan juga sudah pernah duduk di TK. 

Emak membujukku untuk sekolah, waktu itu Emak sedang mengandung Adik ke duaku.
Aku juga di paksa untuk mengaji di desa tetangga seorang diri, hanya beberapa kali Emak bisa mengantar.

Setelah remaja, Aku mulai di hadapkan dengan berbagai peristiwa sial. Mula-mula Aku mendaftar di Sekolah menengah atas (SMA), namun Aku tidak lulus karena persaingan yang  begitu ketat. Aku sangat sedih dan malu, semua temanku di terima, dan Aku sempat tidak mau sekolah lagi.

Entah ada hubungannya atau tidak, saat tangisan itu pecah, emosiku membludak tak terbendung, ada darah hitam mengalir di celanaku seiring dengan derasnya air mata yang membasahi pipiku.

Aku menjerit sambil memanggil Emak, kufikir aku sakit karena frustasi, ternyata tidak. Ituternyata darah menstrusi, aku sudah beranjak remaja sekarang. Ketika darah kotor itu mengotori selangkangan ku, Emaklah yang pertama mengajarkan cara memasangkan pembalut bersayap di daerah kewanitaanku.

Sejak saat itu ku berfikir, bahwa tidak akan ada orang yang rela membersihkan darah, ingus, pupup, dan najis-najis hidupku kecuali ibuku sendiri.

Lalu karena semangat dari ibuku, Aku tetap melanjutkan sekolah dengan mendaftar di SMK Jurusan sekretaris, dan aku diterima. 

2008 jelang awal aku kuliah, Aku sudah membuat Kegaduhan dengan teman-temanku.

Suatu ketika, aku dan teman-temanku di tangkap dan di intimidasi oleh Rektor kampus kami, karena kami di duga ingin menjatuhkan rektor dari jabatannya.


Kami melakukan aksi demontrasi didepan kampus karena  Rektor kami melakukan tindakan asusila terhadap seorang mahasiswi. Mahasiswi itu hamil,  Ia tidak tahu harus minta pertanggung jawaban siapa.

Tidak mungkin Ia memberontak meminta Seorang rektor menikahinya, Ia bisa saja dibunuh karena mempermalukan nama baik sang rektor.

Selain memperkosa mahasiswa, Rektor kamipun menolak untuk mundur dari jabatannya, meski sudah tiga periode menjabat dikampus itu, namun tidak ada perubahan yang bearti.

Aku dan teman-temanku diteror sampai kerumah, Bapakku sampai di panggil oleh kepala desa dan diminta keterangan dikantor polisi. Belum lagi  setiap hari ada saja pesan yang masuk di hp ku berisi ancaman.

Hinaan dan cacian dari tetanggaku juga membuat Emakku kehilangan lapaknya dipasar karena sepi pembeli, Emak di anggap gagal mendidik Aku sebagai seorang anak perempuan.

Emak, yang setiap tahunnya di daulat sebagai pelatih rebana, shalawat badar dan barzanji marhaban untuk persiapan MTQ Kabupaten, kini mendadak di ganti, padahal selain berdagang,  mengajar barzanjilah pekerjaan itu yang digunakan Emak untuk membiayai keperluan kami sekelurga.

Aku di asingkan, sampai aku di deportasi dari kampus, Emak tetap berada disampingku. Aku harus mengulang satu semester setelah aku bisa pindah ke kampus lain, dan Emak tidak kuberitahu sampai saat aku diwisuda. 

Emak, meski aku sudah mempermalukannya, Ia tetap sayang padaku, di sepertiga malam,  ku dengar lirih dalam do'anya menyebut namaku. Aku berharap semoga kesialan ini cepat berlalu.

2014, Aku ke Jakarta, kufikir dengan modal beasiswa yang diberikan oleh kampus, akan sangat mudah untuk bertahan di Jakarta, Aku sudah cukup dewasa, ditambah dengan pengalamanku berorganisasi, cukup untuk membangun kepercayaan diri.

Berbekal uang 1 juta yang diberikan Emak, keberangkatanku di iringi tangis oleh semua keluarga, bagaimana tidak, aku lah anak perempuan satu satunya dari keluarga besar kami yang bisa kuliah S2 sampai ke jawa.

Ditengah kesedihan keluarga, kulihat hanya Emak yang tersenyum. Aku pamit pada Emak.
Emak yang saat itu memelukku,  membacakan do'a-do'a di telingaku, Akupun merinding, Do'a Emak sekan-akan menurunkan malaikat-malaikat dilangit untuk menjagaku.

Sampai di Jakarta, uang 1 juta kupergunakan untuk menyewa sebuah kost di pejaten barat, uangku tersisa 500 ribu untuk ku belikan beras, telur, teh, gula serta satu kardus mie instan.

Satu bulan, aku hidup di jakarta dengan perut yang tidak pernah kosong. Aku sangat bersyukur. Karena sejauh ini, masih banyak kulihat orang-orang yang tidak beruntung dipinggir kali dan jembatan.

Tiga Bulan berikutnya, uang sisa pemberian Emak tinggal 25 ribu. Uangnya habis karena kupergunakan untuk memfoto kopi buku-buku kuliah. 

Dari uang 25 ribu tersebut, kubeli lagi mie intsan  sejak Mie instanku habis dua hari yang lalu. Tapi lagi-lahi Aku ketiban sial. Aku  ketinggalan Mie tersebut di kopaja, ketika kopaja menurunkan kami di jalan kuningan berdesak desakan.

Akhirnya, ku putuskan untuk puasa nabi daud, Aku masih punya teh untuk menu sahur dan berbuka puasa.  Jadi kalau dulu Aku sempat kurus hingga 49 Kg itu karena aku tidak mampu beli makanan.

Aku tidak punya siapapun untuk meminjam uang waktu itu, jaringanku belum cukup kuat, dan tidak ada yang mengenalku seperti sekarang, apalagi setelah kejadian di Pasar Minggu.

Maka kuputuskan untuk menelpon Emak, karena perutku benar-benar kosong. Aku ingat hari itu sedang mendengar khotbah jumat.

Emak yang mendengar bahwa Aku kelaparan, saat itu sedang menjajakan sayur mayur dipasar, lalu bergegas meninggalkan dagangannya menuju Bank terdekat untuk transfer uang padaku.

Waktu itu Emak belum punya kartu ATM, Emak meminta tolong kepada satpam didepan Bank tersebut untuk mentransfer uang 100 ribu kepadaku.

100 ribu itu sangat sulit Emak dapatkan, mungkin setelah menawarkan 3 hari dagangannya, barulah Emak dapat laba 100 ribu. Emak tidak memikirkan apapun, baginya yang penting aku bisa makan.

Tapi sayang sekali, hari jum'at sangat singkat,  Bank lebih cepat tutupnya debandingkan hari-hari lain. 
Sehingga Emak tidak mungkin bisa untuk mentransfer uang, tapi Emak tidak mau putus asa, Emak memohon dan berlutut ke Teller Bank agar bisa mengirimkan Aku uang, Emak menagis, "Anakku mau makan di Jakarta bu, tolong bu, tolong.."

Teller Bank kasian melihat Emak yang menagis, akhirnya Emak diperbolehkan mentransfer uang untuk ku dengan bantuan pak Satpam yang menuliskan nomor rekeningku.

Aku bisa makan, dari hasil Emakku berjualan di pasar. Sejak kejadian itu, Aku bertekad untuk tidak membuat Emak menangis, apalagi sampai berlutut kepada orang lain.

Masih banyak hal lain tentang Emak yang bila ku ceritakan tidak akan menyelesaikan tulisan ini, karena Aku selalu rindu ingin pulang dan Memeluk Emak.

Emak, di usiaku ini, ku abadikan Cinta dan kasih sayangmu dalam hidup, mati dan hidupku lagi, tidak akan pernah tergantikan oleh apapun. 

Mengabdi, menghormati dan membahagiakan Emak, adalah salah satu cara untuk merasakan kembali betapa Aku sangat beruntung mendapatkan Orang tua seperti Emak. cintanya tak terbalas, sayangnya tak terbatas, Kasihnya sepanjang nafas.

Emak, Aku senantiasa berdo'a, agar Emak ridho menjadi orang tuaku, tetaplah mejadi Emakku, kini, dan di kehidupanku selanjutnya.

Jakarta 12 Januari 2018 
Ela Nofita Sari


1 komentar:

  1. Ane kok sedih ya baca artikel ini😞
    Tapi sangat menginspirasi kak buat ane yg lagi
    dalam proses S1 πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘

    BalasHapus

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

About Me

ela nofita sari lahir di kabupaten kerinci .

Follow Me

Search