Minggu, 07 Januari 2018

BERFIKIRLAH DUA KALI SEBELUM MENIKAH

Teman-teman, bagiku menikah itu tidaklah sebuah kodrat yang harus dijalankan oleh setiap manusia seperti kelahiran dan kematian. Menikah hanyalah sebuah peristiwa budaya yang akan melahirkan sebuah kontruksi sosial.

Mungkin bagi sebagian kalian, menikah adalah fase yang paling di nantikan sepanjang hidup. Karena sakralnya proses secara agama dan adat pada saat prosesi Ijab kabul.

Laki-laki dalam budaya perkawinan yang dipakai masyarakat Indonesia, memiliki peran sebagai imam atau kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk menafkahi isteri.   Sementara perempuan akan berganti nama menjadi Nyonya si Fulan. 

Perempuan ditugaskan untuk mengatur ranah domestik agar suami dan anak-anak bisa bahagia dan betah dirumah, meskipun ia memiliki pekerjaan sebagai seorang guru, dokter, dosen, karyawan, dan legislator diluar sana, namun Ia masih saja mendapatkan beban ganda yakni mengurus semua urusan rumah tangga.

Aku bukanlah orang yang anti terhadap pernikahan, tapi konstruksi pernikahan yang dibangun oleh mayoritas masyarakat Indonesia sangat patriarkis dan harus diinterpretasi kembali dalam konteks keadilan dan kesetaraan.

Pernikahan bukan hanya urusan  persentuhan kulit antara laki-laki dan perampuan, lalu memiliki keturunan, tetapi juga harus ada kepedulian untuk memandang bahwa sebuah pernikahan adalah proses untuk saling menghormati dan membahagiakan tanpa ada yang merasa  superior dari yang lain.

Sungguh, aku tidak mau terikat dengan laki-laki dalam sebuah pernikahan yang hanya akan  melanggengkan kekuasaannya atas diriku. Aku tidak mau tunduk pada nilai-nilai patriarki yang mengintimidasiku kaum perempuan lainnya.

Aku mendengar banyak cerita tentang tekanan mental yang dialami oleh perempuan setelah menikah, apalagi pernikahan yang bukan atas kehendak dirinya sendiri. Betapa tidak adilnya perlakuan yang diterima oleh perempuan yang sudah patuh dan taat untuk suaminya. Dia mengorbankan masa depannya hanya untuk menjadi istri yang baik, mengabdi kepada keluarga bahkan membatasi dirinya dari aktivitas-aktivitas yang biasanya dia lakukan, namun setelah terjadi berpisahan beban psikologi menjadi perempuan yang bercerai yang gagal membina rumah tangga menjadi stigma negatif yang terus dia hadapi. Hal Inilah yang disayangkan, karena perempuan selalu menjadi objek yang paling menderita, sementara laki-laki bebas untuk menggunakan waktu mereka.

Kalaupun terjadi kekhilafan seperti perselingkuhan, yang akan disalahkan juga akhirnya adalah isteri, alasanya karena isteri sudah tidak bisa merawat diri, Isteri sudah tidak menggairahkan lagi,dan alasan yang paling lucu ketika suami kepergok selingkuh adalah, karena sang suami hanya menjadi korban dari rayuan perempuan. Itulah streotype yang menimpa kaum perempuan dalam budaya pernikahan patriarkis.

Aku memahami bahwa pernikahan adalah sebuah komitmen untuk membangun kehidupan bersama, saling menjaga, saling mencintai, saling membesarkan dan saling berjanji untuk tidak menyakiti, saling menafkahi, dan merawat anak-anak secara bersama-sama pula, adalah tidak tepat jika setalah menikah hak kita selaku individu dibatasi, hanya karena perempuan kodratnya memiliki rahim untuk melahirkan. itulah kenapa berfikirlah dua kali sebelum menikah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

About Me

ela nofita sari lahir di kabupaten kerinci .

Follow Me

Search