Dunia politik penuh dengan intrik, kata
Iwan Fals, memang benar adanya. Berbagai fenomena politik menghiasi panggung
demokrasi, mulai dari awal berdirinya negara kesatuan RI sampai usianya yang
ke-73 yang baru saja kita rayakan bersama, riak-riak politik cukup kental
terasa. Salah satu fenomena politik adalah apa yang disebut dengan sindrom atau
penyakit dalam dunia politik.
Setidaknya ada tiga jenis sindrom
yang mendera elite politik dewasa ini. Pertama, pre-power syndrome yaitu prilaku seseorang yang ”ugal-ugalan”
sebelum berkuasa. Misalnya, sebelum berkuasa, ia senantiasa memaparkan visi dan
misi yang memihak rakyat. Ia berupaya meyakinkan masyarakat bahwasanya ia
adalah sang ”juru selamat” yang akan menggiring masyarakat ke arah yang benar
dalam mencapai kesejahteraan hidup. Ia dipenuhi oleh obsesi untuk meraih
kekuasaan. Hal ini menyebabkan penilaiannya terhadap pemerintahan yang ada
menjadi tidak objektif. Karena yang ia utamakan sebenarnya hanyalah kepentingannya
semata. Dalam hal ini dikenal adagium ”menghalalkan segala cara”.
Kedua, in-power syndrome, yakni ”virus” yang mendera orang yang sedang
berkuasa. Dulu sebelum ia berkuasa prilaku dan tutur katanya seperti malaikat
penyelamat, namun, rupanya ia hanya bertanam
tebu di bibir. Ini terlihat setelah ia berkuasa. Ia mulai lupa diri, bila
ada pihak yang melakukan kritik–baik yang bersifat membangun atau tidak–ia marah,
dan malah mati-matian membela diri. Itu semua dilakukan untuk melanggengkan
kekuasaan yang telah dimilikinya.
Orang seperti ini dilukiskan oleh
kalangan ulama dengan ungkapan ”Menggunakan ayat Qursi (Q.S Al-Baqarah :255)
untuk mendapatkan ”Kursi”, namun, setelah ”Kursi”nya dapat lupa sama ayatnya”.
Ada banyak sekali politisi yang seperti itu. Contohnya, bisa dilihat calon-calon
pemimpin yang kita kenal sendiri, sebelum pemilihan dilakukan–baik pemilihan
legislatif atau pun eksekutif–dulu mereka itu dalam masa kampanye bagaimana,
dan sekarang–setelah berkuasa–seperti apa. Apakah mereka cukup kosisten dengan
visi dan misi mereka, atau apa bisanya Cuma mengumbar janji semata.
Ketiga, post-power syndrome atau yang disebut dengan penyakit
pasca-berkuasa. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang
berprilaku ”macam-macam” setelah tidak lagi memegang tampuk kekuasaan.
Misalnya, gemar mengkritik kebijakan pemerintah, atau merasa kebijakan yang ia
ambil–sewaktu ia masih berkuasa–jauh lebih baik dan lain sebagainya. Intinya
apa pun yang dilakukan orang salah dan yang paling benar hanyalah dirinya
sendiri. Ada banyak sekali intrik-intrik yang dilakukan oleh para elite
politik. Setidaknya fenomena-fenomena yang penulis paparkan di atas cukup
menggambarkannya walaupun tidak secara keseluruhan.
Wallah
’Alam
x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar