Sabtu, 08 Juni 2019

DAYA PIKAT KEKUASAAN


            Dunia politik penuh dengan intrik, kata Iwan Fals, memang benar adanya. Berbagai fenomena politik menghiasi panggung demokrasi, mulai dari awal berdirinya negara kesatuan RI sampai usianya yang ke-73 yang baru saja kita rayakan bersama, riak-riak politik cukup kental terasa. Salah satu fenomena politik adalah apa yang disebut dengan sindrom atau penyakit dalam dunia politik.

            Setidaknya ada tiga jenis sindrom yang mendera elite politik dewasa ini. Pertama, pre-power syndrome yaitu prilaku seseorang yang ”ugal-ugalan” sebelum berkuasa. Misalnya, sebelum berkuasa, ia senantiasa memaparkan visi dan misi yang memihak rakyat. Ia berupaya meyakinkan masyarakat bahwasanya ia adalah sang ”juru selamat” yang akan menggiring masyarakat ke arah yang benar dalam mencapai kesejahteraan hidup. Ia dipenuhi oleh obsesi untuk meraih kekuasaan. Hal ini menyebabkan penilaiannya terhadap pemerintahan yang ada menjadi tidak objektif. Karena yang ia utamakan sebenarnya hanyalah kepentingannya semata. Dalam hal ini dikenal adagium ”menghalalkan segala cara”.

            Kedua, in-power syndrome, yakni ”virus” yang mendera orang yang sedang
berkuasa. Dulu sebelum ia berkuasa prilaku dan tutur katanya seperti malaikat penyelamat, namun, rupanya ia hanya bertanam tebu di bibir. Ini terlihat setelah ia berkuasa. Ia mulai lupa diri, bila ada pihak yang melakukan kritik–baik yang bersifat membangun atau tidak–ia marah, dan malah mati-matian membela diri. Itu semua dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan yang telah dimilikinya.

            Orang seperti ini dilukiskan oleh kalangan ulama dengan ungkapan ”Menggunakan ayat Qursi (Q.S Al-Baqarah :255) untuk mendapatkan ”Kursi”, namun, setelah ”Kursi”nya dapat lupa sama ayatnya”. Ada banyak sekali politisi yang seperti itu. Contohnya, bisa dilihat calon-calon pemimpin yang kita kenal sendiri, sebelum pemilihan dilakukan–baik pemilihan legislatif atau pun eksekutif–dulu mereka itu dalam masa kampanye bagaimana, dan sekarang–setelah berkuasa–seperti apa. Apakah mereka cukup kosisten dengan visi dan misi mereka, atau apa bisanya Cuma mengumbar janji semata.

            Ketiga, post-power syndrome atau yang disebut dengan penyakit pasca-berkuasa. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang berprilaku ”macam-macam” setelah tidak lagi memegang tampuk kekuasaan. Misalnya, gemar mengkritik kebijakan pemerintah, atau merasa kebijakan yang ia ambil–sewaktu ia masih berkuasa–jauh lebih baik dan lain sebagainya. Intinya apa pun yang dilakukan orang salah dan yang paling benar hanyalah dirinya sendiri. Ada banyak sekali intrik-intrik yang dilakukan oleh para elite politik. Setidaknya fenomena-fenomena yang penulis paparkan di atas cukup menggambarkannya walaupun tidak secara keseluruhan.


            Wallah ’Alam   
x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

About Me

ela nofita sari lahir di kabupaten kerinci .

Follow Me

Search