Sabtu, 08 Juni 2019

HAK POLITIK PEREMPUAN DALAM SOROTAN ISLAM


Wacana tentang kepemimpinan (hak politik) perempuan telah mengundang polemik, baik di kalangan cendekiawan maupun para politisi Islam. Hal ini dikarenakan, ditemukannya penafsiran ayat dan hadis yang secara tekstual mengutamakan laki-laki untuk menjadi pemimpin di satu sisi –namun bukan berarti menidakkan sama sekali hak bagi perempuan –dan di sisi lain, ada kenyataan objektif bahwasanya terdapat sejumlah perempuan yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin.

Berbeda dengan Islam, dalam peradaban lain amat tragis nasib kalangan perempuan, sebagaimana yang terjadi di dalam peradaban Hindu, hak untuk hidup bagi perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya. Sang Istri dibakar hidup-hidup pada saat pembakaran mayat suaminya (ngaben), tradisi ini baru berakhir pada abad ke-17 Masehi. Dalam Undang-undang Hamurabi, wanita dianggap sebagai layaknya binatang ternak yang dapat diperlakukan seenaknya. Misalnya, seorang –baik karena disengaja ataupun tidak –membunuh anak perempuan orang lain, maka dia (si pembunuh tadi) harus menyerahkan anak perempuannya kepada pihak korban tadi untuk dibunuh atau dimiliki.[1]

Banyak sekali perempuan kandidat pemimpin tercekal oleh isu agama. Dan tidak sedikit pula jumlah laki-laki kandidat pemimpin yang sebenarnya lebih lemah menjadi ‘tampak layak’ karena saingan terberatnya seorang perempuan. Agak ironis memang, ada yang terorbit dan ada pula yang tersungkur hanya disebabkan oleh faktor jenis kelamin. Tidak sedikit pula pemimpin perempuan  (sulthanah) harus berhenti di tengah jalan karena isu agama. Termasuk di antaranya tiga sultanah yang pernah memerintah secara berkesinambungan di Aceh pada abad ke-14, yaitu Sultanah Khadijah, Sulthanah Maryam, Sulthanah Fatimah akhirnya harus terputus karena fatwa Qadi Mekah. Alasan fatwa itu perempuan tidak ditolerir menjadi pemimpin (sulthanah) karena dianggap menyalahi kodratnya sebagai perempuan.[2]

Aristoteles, seorang filsuf kenamaan, menyebut wanita sebagai manusia yang belum selesai, yang tertahan dalam perkembangan tingkat bawah. Dan di tempat lain Will Durant, menulis tentang jasa Muhammad dalam meningkatkan dan memperbaiki hak-hak wanita;
            “Dia mengizinkan kaum wanita untuk mendatangi masjid, tapi dia percaya bahwa rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka, namun, bila mereka datang menghadiri khotbah-khotbahnya, dia memperlakukan mereka dengan baik, meskipun mereka membawa bayi-bayi mereka; jika, kata sebuah hadis, dia mendengar tangisan seorang anak, maka dia akan memperpendek khotbahnya, agar sang ibu tidak merasa risau. Dia mengakhiri praktek pembunuhan terhadap bayi (perempuan) oleh orang-orang Arab. Dia menempatkan kaum wanita sejajar dengan kaum pria dalam hal hukum dan kebebasan financial; mereka (kaum wanita) boleh melakukan profesi absah apapun, memiliki perolehannya, mewarisi kekayaan, dan menggunakan hak milik sesuka hatinya. Dia telah menghapus adat Arab memindahtangankan kaum wanita sebagai milik ayah kepada anak laki-lakinya.”[3]
         
         Dapat dikatakan petikan tulisan Durant di atas telah menggambarkan pandangan Islam tentang perempuan. Petikan ini merupakan pengakuan yang objektif dari seorang orientalis berkenaan dengan kedudukan perempuan dalam Islam.
Di dalam bahasa Arab, kata benda dibedakan antara kata benda jantan (mudzakkar) dan kata benda betina (muannats). Tetapi bila satu pertanyaan ditujukan untuk wanita dan pria sekaligus, biasanya digunakan kata-kata mudzakkar. Kum, misalnya, berarti “kamu” laki-laki, tetapi bisa juga digunakan untuk laki-laki dan perempuan secara umum –“Assalamualaikum”, misalnya. Kata Muslimin menunjukkan orang Islam yang laki-laki, tetapi dapat dipergunakan untuk menyatakan orang-orang Islam –baik laki-laki maupun perempuan –secara umum.[4]

Banyak sekali ayat Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan kata-kata mudzakkar walaupun yang dimaksud adalah kedua jenis kelamin. Tetapi tak urung, satu saat wanita-wanita Islam menyampaikan pertanyaan kepada Nabi saw, “ya Rasulullah, laki-laki saja yang disebut dalam segala hal, sedangkan kami tidak disebut? Maka Allah menurunkan ayat:
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. al-ahzab : 35)

Ayat ini di samping menunjukkan adanya persamaan hak antara wanita dan pria dalam memperoleh hasil kerja, juga menggambarkan adanya kesadaran wanita-wanita “primitif” Arab akan identitasnya setelah menerima Islam. Di tempat lain al-Qur’an juga menukilkan bahwasanya hasil usaha seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelaminnya[5], melainkan ditentukan oleh hasil usaha dari masing-masing pihak. Apabila seseorang yang banyak atau gigih dalam berusaha–terlepas apakah ia perempuan ataupun laki-laki–maka sudah sepantasnya ia menuai hasil yang banyak pula (QS An-nisa : 32).

Dalam sejarah kita tidak pernah mendengar “masjid khusus perempuan atau laki-laki”, begitu juga halnya dalam ibadah. Nabi saw.selalu menganjurkan amalan-amalan yang dilakukan oleh kaum laki-laki untuk dilaksanakan juga oleh kaum perempuan, seperti pelaksanaan shalat Jum’at, kedua shalat Id dan lain sebagainya. Nabi menganjurkan kepada semua laki-laki dan perempuan untuk menunaikan ibadah-ibadah ini secara bersama-sama.

Islam memposisikan wanita sejajar dengan pria. Sebagaimana halnya pria, wanita juga adalah makhluk Tuhan yang sempurna yang diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi. Wanita diibaratkan tiang Negara; apabila ia baik, maka Negara akan baik dan jika rusak, Negara pun ikut rusak. Selanjutnya wanita memiliki seperangkat hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan peranan yang diembannya.[6]

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya tentang apa yang ia pimpin. Imam bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin rumah tangga dan bertanggung jawab terhadap orang-orang yang dipimpinnya, seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab terhadap keluarganya. Pelayan adalah pemimpin terhadap harta tuannya dan bertanggung jawab terhadap apa yang ia kelola.” (HR Bukhari).
Yusuf Qaradhawi menyatakan, barangsiapa yang membaca al-Quran dan memahami maknanya maka akan menemukan posisi wanita dan peran aktif mereka untuk mengajak manusia menuju keimanan. Hal ini dimulai dari Hawa, yaitu Istri Nabi Adam AS, selanjutnya ibu Nabi Musa AS dan saudara perempuannya, istri Fir’aun (Asiah), sampai ibu Nabi Isa AS dan neneknya (istri Imran) dan lain-lain.[7]

Bukti Islam membenarkan perempuan menggunakan hak politiknya

            Pada suatu hari, Umar bin Khatab mengeluarkan keputusan hukum yang melarang wanita menetapkan mahar yang terlalu tinggi, serta menentukan batas-batasnya. Seorang wanita tiba-tiba protes dan memperingatkan Umar tentang satu ayat dalam al-Qur’an. Umar mencabut kembali peraturan itu sambil berkata “perempuan itu benar, dan Umar salah”. Hal ini menunjukkan kebebasan wanita melakukan protes politik, jauh sebelum Betty Friedan memimpin gerakan wanita di Amerika Serikat, bahkan juah sebelum revolusi Perancis yang mendengungkan “Liberte, Egalite, et Fraternite”.

Pada suatu ketika seorang gadis mengadu kepada Nabi saw.karena ia telah dinikahkan oleh bapaknya dengan pria yang tidak disukainya. Nabi secara tegas melarang pernikahan paksa itu. Beliau bersabda “Pergilah! Nikah lah dengan orang yang kamu kehendaki,”. Kemudian wanita muda itu berkata, “Sesungguhnya aku telah merelakan perbuatan bapakku itu. Aku hanya ingin mengajarkan kepada kaum wanita, bahwa bapak mereka tidak berhak sedikitpun atas mereka.” Dari sinilah para ahli fikih mengambil kesimpulan, bahwa salah satu rukun nikah adalah kerelaan kedua belah pihak (calon mempelai laki-laki dan perempuan).[8]

Ketika seorang istri mengadu bahwa ia tidak tahan lagi hidup (baca : membina rumah tangga) dengan suaminya, dan takut tidak dapat melayani suaminya sebagaimana sepatutnya, Rasulullah saw, menyuruh wanita itu untuk mengembalikan maskawinnya dan menceraikannya (khulu’).

Hak perempuan dalam bidang politik merupakan hak syar’i. Jika pada masa lalu perempuan tidak menggunakan hak ini bukan berarti hak itu tercerabut dengan sendirinya. Apalagi dalam konteks pemberdayaan peran politik perempuan di Indonesia, hak tersebut secara legal-formal telah terjamin eksistensinya. Hal itu terlihat jelas misalnya, pada pasal 65 ayat 1, UU no. 12 tahun 2003 tentang pemilu yang menyatakan bahwa: setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.

Hanya saja perempuan pada saat sekarang ini terkesan tidak mau mengoptimalkan kesempatan yang telah diberikan kepadanya untuk “menangkap” semua peluang yang ada dan telah teruntuk untuknya. Dan memang harus diakui bahwa pemberdayaan wanita sampai saat sekarang ini belumlah maksimal, meskipun usaha ke sana masih dan terus diupayakan, seperti yang dilakukan oleh para aktivis mahasiswi dewasa ini semisal Muslimat NU, SALIMA, Nasyiatul Asiah, Asiah, korps Imawati (IMM), KOHATI (HMI), Keputrian (PMII) dan lain sebagainya. Penulis sangat optimis sekali, bahwa dengan menjamurnya ormas-ormas perempuan, dan mereka secara serius memperjuangkan haknya, maka hak-hak itu akan mereka dapatkan.
Wallahu a’lam





[1]Muhammad Kamil Hasan al-Mahani, Ensiklopedi al-Qur’an Tematis, Jilid 6, terjemahan Ahmad Fawaid Syadzili, (Jakarta : Kharisma Ilmu, 2005), h. 91.
[2]Ali Munhanif (ed), Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, (Jakarta : Gramedia, 2002), h. 12
[3]Will Durant, The Story of Civilizxation, (New York : Simon and Schuter, 1950), h. 188. 
[4]Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif Ceramah di Kampus-kampus, (Bandung : Mizan, 1998), h.126.
[5]Kenyataan objektif menunjukan bahwa ada banyak kalangan perempuan dibeberapa universitas yang kemampuan akademisinya jauh lebih baik bila dibandingkan laki-laki.
[6]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.185.
[7]Yusuf Qaradhawi, Fatawa-fatawa Kontemporer 3, penerjemah, Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta : Gema Insani Press, 2002), h. 383.
[8]Al-ABani, Al-Mar’ah fi al-Islam, (tt, 1975), h.119. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

About Me

ela nofita sari lahir di kabupaten kerinci .

Follow Me

Search