Wacana
tentang kepemimpinan (hak politik) perempuan telah mengundang polemik, baik di
kalangan cendekiawan maupun para politisi Islam. Hal ini dikarenakan, ditemukannya
penafsiran ayat dan hadis yang secara tekstual mengutamakan laki-laki untuk
menjadi pemimpin di satu sisi –namun bukan berarti menidakkan sama sekali hak
bagi perempuan –dan di sisi lain, ada kenyataan objektif bahwasanya terdapat
sejumlah perempuan yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan mempunyai
kemampuan untuk menjadi pemimpin.
Berbeda
dengan Islam, dalam peradaban lain amat tragis
nasib kalangan perempuan, sebagaimana yang terjadi di dalam peradaban Hindu,
hak untuk hidup bagi perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian
suaminya. Sang Istri dibakar hidup-hidup pada saat pembakaran mayat suaminya (ngaben), tradisi ini baru berakhir pada
abad ke-17 Masehi. Dalam Undang-undang Hamurabi, wanita dianggap sebagai layaknya binatang
ternak yang dapat diperlakukan seenaknya. Misalnya, seorang –baik karena
disengaja ataupun tidak –membunuh anak perempuan orang lain, maka dia (si
pembunuh tadi) harus menyerahkan anak perempuannya kepada pihak korban tadi
untuk dibunuh atau dimiliki.[1]
Banyak
sekali perempuan kandidat pemimpin tercekal oleh isu agama. Dan tidak sedikit
pula jumlah laki-laki kandidat pemimpin yang sebenarnya lebih lemah menjadi
‘tampak layak’ karena saingan terberatnya seorang perempuan. Agak ironis
memang, ada yang terorbit dan ada pula yang tersungkur hanya disebabkan oleh
faktor jenis kelamin. Tidak sedikit pula pemimpin perempuan (sulthanah) harus berhenti di tengah
jalan karena isu agama. Termasuk di antaranya tiga sultanah yang pernah
memerintah secara berkesinambungan di Aceh pada abad ke-14, yaitu Sultanah
Khadijah, Sulthanah Maryam, Sulthanah Fatimah akhirnya harus terputus karena
fatwa Qadi Mekah. Alasan fatwa itu perempuan tidak ditolerir menjadi pemimpin (sulthanah)
karena dianggap menyalahi kodratnya sebagai perempuan.[2]
Aristoteles,
seorang filsuf kenamaan, menyebut wanita sebagai manusia yang belum selesai,
yang tertahan dalam perkembangan tingkat bawah. Dan di tempat lain Will Durant,
menulis tentang jasa Muhammad dalam meningkatkan dan memperbaiki hak-hak wanita;
“Dia mengizinkan kaum wanita untuk
mendatangi masjid, tapi dia percaya bahwa rumah-rumah mereka adalah lebih baik
bagi mereka, namun, bila mereka datang menghadiri khotbah-khotbahnya, dia
memperlakukan mereka dengan baik, meskipun mereka membawa bayi-bayi mereka;
jika, kata sebuah hadis, dia mendengar tangisan seorang anak, maka dia akan
memperpendek khotbahnya, agar sang ibu tidak merasa risau. Dia mengakhiri
praktek pembunuhan terhadap bayi (perempuan) oleh orang-orang Arab. Dia
menempatkan kaum wanita sejajar dengan kaum pria dalam hal hukum dan kebebasan
financial; mereka (kaum wanita) boleh melakukan profesi absah apapun, memiliki
perolehannya, mewarisi kekayaan, dan menggunakan hak milik sesuka hatinya. Dia
telah menghapus adat Arab memindahtangankan kaum wanita sebagai milik ayah
kepada anak laki-lakinya.”[3]
Dapat dikatakan petikan tulisan
Durant di atas telah menggambarkan pandangan Islam tentang perempuan. Petikan
ini merupakan pengakuan yang objektif dari seorang orientalis berkenaan dengan
kedudukan perempuan dalam Islam.
Di
dalam bahasa Arab, kata benda dibedakan antara kata benda jantan (mudzakkar) dan kata benda betina (muannats). Tetapi bila satu pertanyaan
ditujukan untuk wanita dan pria sekaligus, biasanya digunakan kata-kata mudzakkar. Kum, misalnya, berarti “kamu”
laki-laki, tetapi bisa juga digunakan untuk laki-laki dan perempuan secara umum
–“Assalamualaikum”, misalnya. Kata
Muslimin menunjukkan orang Islam yang laki-laki, tetapi dapat dipergunakan
untuk menyatakan orang-orang Islam –baik laki-laki maupun perempuan –secara
umum.[4]
Banyak
sekali ayat Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan kata-kata mudzakkar walaupun yang dimaksud adalah
kedua jenis kelamin. Tetapi tak urung, satu saat wanita-wanita Islam
menyampaikan pertanyaan kepada Nabi saw, “ya Rasulullah, laki-laki saja yang
disebut dalam segala hal, sedangkan kami tidak disebut? Maka Allah menurunkan
ayat:
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang
muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap
dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan
yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
(QS. al-ahzab : 35)
Ayat
ini di samping menunjukkan adanya persamaan hak antara wanita dan pria dalam
memperoleh hasil kerja, juga menggambarkan adanya kesadaran wanita-wanita
“primitif” Arab akan identitasnya setelah menerima Islam. Di tempat lain
al-Qur’an juga menukilkan bahwasanya hasil usaha seseorang tidak ditentukan
oleh jenis kelaminnya[5],
melainkan ditentukan oleh hasil usaha dari masing-masing pihak. Apabila
seseorang yang banyak atau gigih dalam berusaha–terlepas apakah ia perempuan
ataupun laki-laki–maka sudah sepantasnya ia menuai hasil yang banyak pula (QS An-nisa : 32).
Dalam
sejarah kita tidak pernah mendengar “masjid khusus perempuan atau laki-laki”,
begitu juga halnya dalam ibadah. Nabi saw.selalu menganjurkan amalan-amalan
yang dilakukan oleh kaum laki-laki untuk dilaksanakan juga oleh kaum perempuan,
seperti pelaksanaan shalat Jum’at, kedua shalat Id dan lain sebagainya. Nabi
menganjurkan kepada semua laki-laki dan perempuan untuk menunaikan
ibadah-ibadah ini secara bersama-sama.
Islam
memposisikan wanita sejajar dengan pria. Sebagaimana halnya pria, wanita juga
adalah makhluk Tuhan yang sempurna yang diciptakan untuk menjadi khalifah di
bumi. Wanita diibaratkan tiang Negara; apabila ia baik, maka Negara akan baik
dan jika rusak, Negara pun ikut rusak. Selanjutnya wanita memiliki seperangkat
hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan peranan yang diembannya.[6]
“Setiap
kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya
tentang apa yang ia pimpin. Imam bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Seorang
suami adalah pemimpin rumah tangga dan bertanggung jawab terhadap orang-orang
yang dipimpinnya, seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan
bertanggung jawab terhadap keluarganya. Pelayan adalah pemimpin terhadap harta
tuannya dan bertanggung jawab terhadap apa yang ia kelola.” (HR Bukhari).
Yusuf
Qaradhawi menyatakan, barangsiapa yang membaca al-Quran dan memahami maknanya
maka akan menemukan posisi wanita dan peran aktif mereka untuk mengajak manusia
menuju keimanan. Hal ini dimulai dari Hawa, yaitu Istri Nabi Adam AS,
selanjutnya ibu Nabi Musa AS dan saudara perempuannya, istri Fir’aun (Asiah),
sampai ibu Nabi Isa AS dan neneknya (istri Imran) dan lain-lain.[7]
Bukti Islam membenarkan perempuan
menggunakan hak politiknya
Pada suatu hari, Umar bin Khatab
mengeluarkan keputusan hukum yang melarang wanita menetapkan mahar yang terlalu
tinggi, serta menentukan batas-batasnya. Seorang wanita tiba-tiba protes dan
memperingatkan Umar tentang satu ayat dalam al-Qur’an. Umar mencabut kembali
peraturan itu sambil berkata “perempuan itu benar, dan Umar salah”. Hal ini
menunjukkan kebebasan wanita melakukan protes politik, jauh sebelum Betty
Friedan memimpin gerakan wanita di Amerika Serikat, bahkan juah sebelum
revolusi Perancis yang mendengungkan “Liberte,
Egalite, et Fraternite”.
Pada
suatu ketika seorang gadis mengadu kepada Nabi saw.karena ia telah dinikahkan
oleh bapaknya dengan pria yang tidak disukainya. Nabi secara tegas melarang
pernikahan paksa itu. Beliau bersabda “Pergilah!
Nikah lah dengan orang yang kamu kehendaki,”. Kemudian wanita muda itu
berkata, “Sesungguhnya aku telah
merelakan perbuatan bapakku itu. Aku hanya ingin mengajarkan kepada kaum
wanita, bahwa bapak mereka tidak berhak sedikitpun atas mereka.” Dari
sinilah para ahli fikih mengambil kesimpulan, bahwa salah satu rukun nikah
adalah kerelaan kedua belah pihak (calon mempelai laki-laki dan perempuan).[8]
Ketika
seorang istri mengadu bahwa ia tidak tahan lagi hidup (baca : membina rumah
tangga) dengan suaminya, dan takut tidak dapat melayani suaminya sebagaimana
sepatutnya, Rasulullah saw, menyuruh wanita itu untuk mengembalikan maskawinnya
dan menceraikannya (khulu’).
Hak
perempuan dalam bidang politik merupakan hak syar’i. Jika pada masa lalu
perempuan tidak menggunakan hak ini bukan berarti hak itu tercerabut dengan
sendirinya. Apalagi dalam konteks pemberdayaan peran politik perempuan di Indonesia , hak
tersebut secara legal-formal telah terjamin eksistensinya. Hal itu terlihat
jelas misalnya, pada pasal 65 ayat 1, UU no. 12 tahun 2003 tentang pemilu yang
menyatakan bahwa: setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon
anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota untuk setiap daerah
pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Hanya
saja perempuan pada saat sekarang ini terkesan tidak mau mengoptimalkan
kesempatan yang telah diberikan kepadanya untuk “menangkap” semua peluang yang
ada dan telah teruntuk untuknya. Dan memang harus diakui bahwa pemberdayaan
wanita sampai saat sekarang ini belumlah maksimal, meskipun usaha ke sana masih
dan terus diupayakan, seperti yang dilakukan oleh para aktivis mahasiswi dewasa
ini semisal Muslimat NU, SALIMA, Nasyiatul Asiah, Asiah, korps Imawati (IMM),
KOHATI (HMI), Keputrian (PMII) dan lain sebagainya. Penulis sangat optimis
sekali, bahwa dengan menjamurnya ormas-ormas perempuan, dan mereka secara
serius memperjuangkan haknya, maka hak-hak itu akan mereka dapatkan.
Wallahu
a’lam
[1]Muhammad Kamil Hasan al-Mahani, Ensiklopedi al-Qur’an Tematis, Jilid 6,
terjemahan Ahmad Fawaid Syadzili, (Jakarta
: Kharisma Ilmu, 2005), h. 91.
[2]Ali Munhanif (ed), Mutiara
Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, (Jakarta : Gramedia, 2002), h. 12
[3]Will Durant, The Story of Civilizxation, (New York : Simon and Schuter, 1950),
h. 188.
[4]Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif Ceramah di Kampus-kampus, (Bandung
: Mizan, 1998), h.126.
[5]Kenyataan
objektif menunjukan bahwa ada banyak kalangan perempuan dibeberapa universitas
yang kemampuan akademisinya jauh lebih baik bila dibandingkan laki-laki.
[6]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam jilid 5, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.185.
[7]Yusuf Qaradhawi, Fatawa-fatawa Kontemporer 3, penerjemah, Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, (Jakarta :
Gema Insani Press, 2002), h. 383.
[8]Al-ABani, Al-Mar’ah fi al-Islam, (tt, 1975), h.119.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar