Pada prinsipnya Islam menganut
asas monogami, sedangkan poligami hanyalah suatu alternatif kalau seandainya
tujuan pernikahan yang sebelumnya tidak tercapai. Islam mendambakan kebahagiaan
bagi keluarga, (sakinah, wawaddah wa
rahmah), kebahagiaan itu antara lain didukung oleh cinta kepada pasangan.
Cinta yang sebenarnya menuntut agar seseorang tidak mendua, dalam artian tidak
mencintai kecuali pasangannya itu. Dalam khazanah keagamaan, ada ungkapan
klasik yang mengatakan “tidak ada di
dalam hati dua cinta, sebagaimana tidak ada di dalam wujud ini dua Tuhan.”
Di Indonesia sendiri amat populer sekali ungkapan “tidak mungkin dalam satu pondok ada dua cinta.” Hal seperti inilah
yang didambakan oleh istri kalau enggan dikatakan pasangan suami istri. Bila
seseorang benar-benar mencintai pasangannya, bukan hanya mengorbankan apa yang
boleh atau dapat dimilikinya, melainkan ia
mau mengorbankan jiwa raganya demi cinta.
Poligami harus dilihat dari sudut
pandang penetapan hukum dalam kondisi tertentu yang mungkin terjadi. Di samping
itu dilihat juga alternatif lain yang terbaik. Adalah wajar bagi Islam–yang bersifat
universal dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat–mempersiapkan ketetapan hukum yang boleh jadi terjadi pada
suatu ketika, walaupun kejadian itu baru sebatas kemungkinan.
Bukankah
kenyataan menunjukkan bahwa jumlah lelaki lebih sedikit dibandingkan perempuan?
Perhatikanlah di sekeliling anda ! Bukankah rata-rata usia perempuan jauh lebih
panjang dari usia lelaki? Dan ini ditambah lagi dengan potensi masa subur
perempuan itu terbatas, dikarenakan perempuan mengalami masa haid, dan juga
suatu waktu akan mengalami menopause. Sedangkan laki-laki tidak demikian. Di samping
itu peperangan yang hingga kini tak kunjung dapat dicegah, lebih banyak
merenggut nyawa laki-laki daripada perempuan. Dan juga faktor kemandulan lebih
banyak menimpa perempuan dan juga penyakit parah lainnya seperti kanker rahim
yang tidak memungkinkan perempuan itu untuk melahirkan seorang anak. Apakah alternatif
yang dapat diusulkan kepada suami yang menghadapi kasus demikian? Bagaimanakah seharusnya ia menyalurkan
kebutuhan biologisnya atau memperoleh dambaannya pada keturunan? Apakah ia harus “puasa” selama-lamanya atau
melakukan hubungan gelap dengan perempuan lain, atau nikah secara sah
(berpoligami) tentunya dengan syarat berlaku adil dan berbuat baik? Dalam hal
semacam ini, poligami adalah jalan keluar yang terbaik. Sebagaimana firman
Allah dalam surat
An-Nisa’ : 1, yang artinya:
“Dan jika kamu takut untuk tidak
akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka nikahilah yang kamu
senangi dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga, atau empat. Lau jika kamu
takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak
perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat
anaiaya.”
Ayat di atas tidak menganjurkan apalagi mewajibkan untuk berpoligami, tetapi ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami.
Dan itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang amat
membutuhkannya, dengan syarat yang tidak ringan. Seandainya poligami itu
dianjurkan apalagi diwajibkan, pastilah Allah dengan kebijaksanaan-Nya, akan
menciptakan perempuan empat kali lebih banyak daripada laki-laki. Karena, tidak
mungkin Allah menganjurkan seasuatu sementara yang dianjurkan itu tidak
tersedia. Spirit yang terkandung di dalam ayat di atas, hanya memberikan solusi
bagi mereka yang menginginkannya ketika ia menghadapi kondisi atau kasus
tertentu, sebagaimana fenomena yang dipaparkan di atas. Dalam hal ini tentu
saja masih banyak kondisi atau kasus lain yang juga merupakan alasan logis
untuk tidak menutup rapat atau mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan
oleh wahyu dengan syarat yang tidak ringan.
Selama ini ada anggapan keliru
yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. menikahi perempuan lebih dari satu
(berpoligami) dan pernikahan semacam itu hendaknya diteladani. Perlu diingat
tidak semua yang dilakukan oleh rasulullah itu perlu dan harus diteladani.
Sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib atau
terlarang pula bagi umatnya. Misalnya rasul wajib shalat malam, tidak boleh
menerima zakat, tidak batal wudhu’ beliau bila tertidur, beliau dilarang untuk
menerima zakat dan dilarang pula mendo’akan kedua orang tuanya. Hal ini
tentunya tidak berlaku bagi umat Islam, hanya spesifik untuk Nabi.
Sangat wajar dipertanyakan kepada
mereka yang berdalih bahwa “poligami mentauladani Rasulullah”. Apakah mereka
benar-benar ingin meneladani Rasul dalam pernikahannya? Kalau benar demikian,
perlu mereka sadari bahwa rasul saw. baru berpoligami setelah pernikahan
pertamanya berlalu sekian lama yakni setelah meninggalnya istri beliau Khadijah
ra. Muhammad menikahi Khadijah dalam usia 25 tahun. Lima belas tahun setelah itu beliau diangkat
menjadi Nabi. Khadijah wafat pada tahun ke-9 kenabian. Ini berarti beliau
bermonogami dengan Khadijah ra selama
lebih kurang 24 tahun. Lalu setelah itu baru beliau berpoligami pada
tahun kedua atau ke-3 H. Sedangkan beliau
wafat pada tahun ke-11 H dalam usia 63 tahun.
Berdasarkan pemaparan di atas,
dapat dikalkulasikan bahwa nabi berpoligami hanya dalam waktu sekitar 8 tahun,
jauh lebih pendek daripada beliau bermonogami. Beliau–baik dihitung berdasarkan
pada masa kenabian, lebih-lebih jika dihitung seluruh masa pernikahan beliau.
Jika demikian, mengapa bukan masa yang lebih banyak itu yang diteladani ? Dan mengapa
mereka tidak meneladani rasul saw. itu dalam memilih calon-calon istri yang
telah mencapai usia senja, seperti Khadijah ra, Saudah binti Zam’ah ra, Ummu
Salamah ra, Ramlah ra, Huriyah binti Al Haris ra, Hafshah binti Umar Ibnu
al-Khathab ra, Syafiyah binti Huyar ra, Zainab binti Jahesy ra, Zainab binti
Khuzairah ra, yang kesemuanya itu adalah janda dan sebagian besar sudah tidak
cantik lagi. Satu-satunya gadis yang beliau nikahi adalah Aisyah ra. Dan perlu
diingat pernikahan yang beliau lakukan adalah bukan dilandasi hawa nafsu syahwat
melainkan untuk menyukseskan dakwah, membantu dan menyelamatkan kehidupan para
perempuan yang kehilangan suaminya dalam peperangan.
Di samping itu, mengapa mereka
tidak meneladani nabi dalam hal kesetiaannya yang demikian besar terhadap istri
pertama beliau, Khadijah ra. sampai-sampai beliau menyatakan kecintaan dan
kesetiaannya di hadapan istri-istri beliau yang lainnya. Dalam sebuah riwayat
dikatakan bahwa, pada suatu sore Nabi bersama Aisyah ra di datangi oleh seorang
tamu. Nabi berkata “Siapa itu, ketuk pintunya seperti ketuk pintu Khadijah,
saya yakin ini adalah salah seorang keluarga Khadijah”. Kejadian ini
menunjukkan rasa cinta Nabi yang mendalam kepada istri pertama beliau, sampai-sampai
ketuk pintunya pun beliau hafal. Pertanyaannya adakah orang mereka yang mengaku
ingin mentauladani Nabi dalam bidang pernikahan
Poligami, menurut M. Quraish
Shihab, mirip dengan pintu gawat darurat dalam pesawat terbang, yang hanya
boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu, yang duduk di samping pintu
gawat darurat pun haruslah mereka yang memiliki pengetahuan dan kemampuan
membukanya serta baru diperkenankan membukanya pada saat mendapatkan izin dari
pilot. Dalam hal ini ada benarnya apa yang dikatakan oleh Nashiruddin al-Thusi,
ia mengatakan “kalau bisa kita (suami) semestinya hanya punya satu istri, hal
ini didasarkan pada pertimbangan filosofis, bahwa suami diibaratkan dengan
jiwa, sedangkan istri dengan badan, jiwa yang memiliki hanya satu badan akan
lebih dapat dikelola daripada satu jiwa dengan dua atau tiga badan”. Oleh
karena itu, untuk menjaga keutuhan rumah tangga, seorang suami dianjurkan untuk
memiliki hanya satu istri.
Wa Allah A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar